Pengembangan nematoda entomopatogen(pkl)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang 
Selama ini masyarakat belum mengetahui kalau di dalam tanah terdapat agens hayati sebagai pengendali biopestisida. Agens hayati tersebut adalah  NEP. Banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa nematoda entomopatogen berada didalam tanah dan dapat kita ambil dengan teknik yang sederhana, dapat kita manfaatkan agens pengendali hayati tersebutdapat dikembangkan sebagai biopestisida. Apabila NEP ini dikembangkan baik secara home industri ataupun sekala besar sebagai biopestisida maka hal ini dapat menjadi peluang kerja bagi masyarakat Indonesia (Borror et al., 1982).
Teknologi proteksi tanaman perkebunan saat ini marak diterapkan para petani untuk pengendalian OPT dengan memanfaatkan agens hayati, karena memperhitungkan dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia yang berlebihan, karna dapat merusak lingkungan bahkan berdampak pada kesehatan. Pemanfaatan agens hayati sebagai teknik dalam mengendalikan OPT tanaman dianggap lebih aman serta ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem . Salah satu Agens pengendali hayati yang dikembangkan di BBPPTP Surabaya ini adalah Nematoda Entomopatogen (NEP).
Pengembangan nematoda entomopatogen  di BBPPTP Surabaya dilakukan dari mulai eksplorasi, identifikasi, perbanyakan sampai produksi. Pada umumnya NEP ini digunakan untuk mengendalikan hama perkebunan seperti uret tebu, ulat penggerek kelapasawit, rayap dan sebagainya. Melihat banyaknya kegunaan dari nematoda entomopatogen ini sehingga penting dipelajari. Oleh karna itu timbul ketertarikan penulis untuk melaksanakan kegiatan PKL di BBPPTP Surabaya pada laboratorium nematoda khususnya. Kegiatan ini dilakukan untuk mempelajari dan memahami secara langsung teknologi pengembangan nematoda entomopatogen.

1.2.    Tujuan 
1.2.1  Tujuan Umum
a.   Praktek kerja lapang bertujuan agar para mahasiswa dapat menyelesaikan salah satu syarat studi Prodi Agroekoteknologi dan menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang pertanian.
b.Melatih mahasiswa agar mempunyai mental, keterampilan dan pengetahuan serta motivasi dalam kehidupan mendatang
c.Memperkenalkan mahasiswa dalam kerja dunia nyata sehingga mahasiswa bisa lebih profesional,disiplin, mandiri dan bertanggung jawab
1.2.2      Tujuan Khusus
a.   Mempelajari cara mengembangkan atau teknik perbanyakan Nematoda Entomopatogen (NEP)
b.Mempelajari teknik eksplorasi Nematoda Entomopatogen (NEP) dari lapang serta identifikasi dan cara aplikasi
1.3.    Manfaat 
Manfaat yang akan dapat diambil dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan baik untuk mahasiswa maupun lembaga pendidikan adalah :
1.3.1    Bagi Mahasiswa
a.            Memperoleh pengalaman nyata yang bermanfaat untuk meningkatkan
         kemampuan dan ketrampilan 
c        Mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan tentang pertanian.
1.3.2    Bagi Lembaga Pendidikan
a.            Terjalinnya hubungan antara Program Studi Agroteknologi khususnya dan
         Fakultas Pertanian pada umumnya, dengan Balai Besar Pembenihan dan
         Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) surabaya.
b.            Mendapat umpan balik untuk meningkatkan kualitas pendidikan,      
         sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan dunia teknologi pertanian.
c.   Memperoleh masukan-masukan baru dari lembaga pendidikan, melalui Mahasiswa yang sedang melaksanakan PKL.

BAB II
PROFIL INSTANSI
2.1 Sejarah Singkat Berdirinya BBPPTP Surabaya
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya adalah penggabungan dari dua UPT Pusat Direktorat Jenderal Perkebunan. Kedua Balai tersebut adalah Balai Pengawasan dan  Penguji Mutu Benih (BPPMB) Tanaman Perkebunan dan Balai Proteksi Tanaman dan Perkebunan (BPTP) Jawa Timur. Berdasarkan Permentan No: 8 Tahun 2008 kedua UPT Pusat tersebut bergabung menjadi BBPPTP Surabaya, kedua Balai tersebut diharapkan dapat meningkatkan peran sebagai pusat pengembangan teknologi benih dan sertifikasi tanaman perkebunan serta penanggulangan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada usaha budidaya perkebunan. Sehingga peranan BBPPTP Surabaya yaitu memberikan produktifitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan melalui dukungan penguji dan pengawasan mutu benih serta penerapan teknologi proteksi perkebunan yang lebih maju.
2.2 Lokasi Geografis BBPPTP Surabaya
BBPPTP Surabaya terletak di Jl. Ray Mojoagung No. 52 Mojoagung, Jombang, tepatnya di Dusun Ngrowo, Desa Gambiran dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelum Utara: Desa Mancilan
Sebelah Selatan: Desa Janti
Sebelah Barat: Desa Tejo
Sebelah Timur: Desa Kauman
Desa Gambiran terletak pada ketinggian 37 m dpl, topografi daerahnya sebagian besar adalah daratan. Berdasarkan letak data iklim per Maret 2016, menunjukkan suhu maksimal mencapai 35°C dan suhu terendah 22°C, rata-rata curah hujan pada bulan Maret 165,3 mm/tahun.

2.3 Wilayah Kerja BBPPTP Surabaya
Wilayah kerja BBPPTP Surabaya dibidang pertanian meliputi: Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DIY, Provinsi Jawa Barat,Provinsi Banten, Provinsi Banten, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggar Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Papua, dan Provinsi papua Barat. Sedangkan wilayah kerja BBPPTP Surabaya dibidang proteksi meliputi: Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DIY, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2.4 Visi, Misi dan Moto BBPPTP Surabaya
A. Visi
Visi dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman  Perkebunan (BBPPTP) Surabaya adalah Menjadi Balai yang profesional dalam meningkatkan pelayanan prima dibidang perbenihan dan proteksi tanaman perkebunan.
B. Misi
Visi yang telah disebutkan diatas maka BBPPTP Surabaya mempunyai misi antara lain:
1. Mengoptimalkan pengawasan pelestarian plasmanutfa, mutu benih, peredaran benih, hasil rekayasa genetika dan pemanfaatan agens pengendali hayati.
2. Mengoptimalkan pengujian mutu benih dalam rangka (uji layak edar, introduksi, expor, inport dan rekayasa genetika) dan agens pengendali hayati.
3. Mengoptimalkan penguji adaptasi/observasi dalam rangka  pelepasan varietas dann pengujian penilaian manfaat keelayakan benih dalam rangaka penarikan variets.
4. Mengembangkan metode pengujian mutu benih, sertifikasi benih, pengawasan perbedaan benih, teknik identifikasi opt, pengendalian opt, penerapan pht, penanggungan gangguan usaha dan dampak anomali iklim.
5. Mengembangkan jaringan kerjasama antar laboratorium penguji mutu benih dan antar laboratorium proteksi tanaman perkebunan
6. Meningkatkan bimbingan teknik penerapan sistem manajemen maupun laboratorium pengujian mutu benih dan proteksi tanaman perkebunan.
7. Mengoptimalkan pelayanan teknis dan pengembangan informasi perbenihan dan proteksi tanaman perkebunan.
C. Motto
Motto dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya yaitu “TANGGAP, CEPAT AKURAT”, BBPPTP Surabaya berusaha terus lebih maju dan mewujudkan agar Balai Besar yang berperan sebagai pusat pengembangan teknologi benih dan sertifikasi tanaman perkebunan serta penanggulangan gangguan usaha perkebunan.
2.5 Struktur Organisasi BBPPTP Surabaya
Sebuah Balai Besar termasuk salah satunya yaitu Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya memiliki susunan organisasi. Secara struktural, susunan organisasi BBPPTP dipimpin oleh Kepala Balai yang membawakan kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Bidang Proteksi, Kepala Bidang Perbenihan serta kelompok jabatan fugsional. Kepala Bidang Perbenihan dibantu oleh seksi pelayanan Teknik dan Informasi serta juga dibantu oleh Seksi jaringan Laboratorium perbenihan. Hal ini juga sama terjadi pada bidang proteksi yang dibantu oleh seksi pelayanan Teknik dan Informasi serta oleh seksi jaringan laboratorium proteksi, struktur organisasi yang ada di Balai Besar pembenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya yaitu sebagai berikut:



 
Kabid Proteksi
Wahyu Irianto, SP
Kasie.
Yantekinfo
Warnoto
Kelompok Jabatan Fungsional
Kasie. Jarlab
Drs. Anang Susilo
Ka. Sub Bagian TU
Rizky Ahmadi Febrianto, SE., M.Agr.
Kabid Perbenihan
Ir. Anita Lindiati
Kasie.
Yantekinfo
Kiswidiatmo, SE, MM
Kasie. Jarlab
R. Tomas W. SP, MP
Ka. Balai Besar
Ardi Praptono, SP
 










2.6 Tugas Pokok dan Fungsi BBPPTP Surabaya
Melaksanakan analisis teknis dan pengembangan proteksi tanaman perkebunan dan melaksanakan pemberian bimbingan teknis penerapan sistem manajemen mutu dan laboratorium. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 08/Permentan/ot.140/2/2008 tentang organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP). BBPPTP Surabaya melakukan tugas pokok dan fungsi tersendiri. Untuk jelasnya mengenai tugas pokok dan fungsi BBPPTP dijelaskan sebagai berikut.
A. Tugas Pokok
Tugas pokok yang dilakukan oleh BBPPTP Surabaya yaitu:
1. Melaksanakan pengawasan, pengembangan, pengujian mutu benih.
2. Melaksanakan analisis teknik dan pengembangan proteksi tanaman perkebunan.
3. Memberikan bimbingan teknis penerapan sistem manajemen mutu dan laboratorium.
B. Fungsi
BBPPTP Surabaya dalam melaksanakan tugasnya juga menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Pelaksaan identifikasi organisme pengganggu tanaman (OPT) perkebunan.
2. Pelaksaan analisis data serangan dan perkembangan  situasi OPT serta faktor yang mempengaruhi.
3. Pelaksanaan pengujian adaptasi (observasi) benih perkebunan dalam rangka pelepasan varietas.
4. Pelaksanaan penilaian pengujian manfaat dan kekayaan bnih perkebunan dalam rangka penarikan varietas.
5. Pelaksanaan pengujian mutu dan sertifikasi benih perkebunan dalam rangka perbenihan sertifikat layak edar.
6. Pelaksanaan pemantauan benih perkebunanyang beredar lintas provinsi.
7. Pelaksanaan pengembangan teknik  dan metode pengujian mutu benih perkebunan dan uji acuan (referee test).
8. Pelaksanaan identifikasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
9. Pelaksanaan analisis data serangan dan perkembangan  situasi OPT serta faktor mempengaruhi.
10. Pelaksanaan analisis data gangguan usaha perkebunan dan dampak anonim iklim serta faktor yang mempengaruhi.
11. Pengembangan teknis surveillance OPT penting.
12. Pelaksanaan pengembangan metode pengamatan, model peramalan, taksasi kehilangan hasil dan teknik pengendalian OPT perkebunan.
13. Pelaksanaan eksplorasi dan inventarisasi musuh alami OPT perkebunan.
14. Pelaksanaan pengembangan teknologi perbanyakan, penilaian kualitas dan pelepasan agens hayati OPT perkebunan.
15. Pelaksanaan pengujian dan analisis  residu pestisida.
16. Pelaksanaan pelestarian plasmanutfa tingkat nasiona.
17. Pelaksanaan pengujian mutu benih perkebunan introduksi, eks impor dan yang akan di ekspor, serta rekayasa genetik.
18. Pemberian pelayanan teknik kegiatan perbenihan dan proteksi tanaman perkebunan.
19. Pengelolaan data dan informasi kegiatan perbenihan dan proteksi tanaman perkebunan.
20. Pemberian bimbingan teknis penerapan sistem manajemen laboratorium perbenihan dan proteksi tanaman perkebunan.
21. Pelaksanaan pengembangan jaringan dan kerjasama laboratorium perbenihan dan proteksi tanaman perkebunan.
22. Pelaksanaan urusan kepegawaian, keuangan tataausaha dan rumah tangga balai besar.
2.7 Sarana dan prasarana
Sarana pendukung dalam menjalankan tugas dan fungsi pokok sebagai unit  pembantu pusat berupa laboratorium. Laboratorium dapat membantu menunjang kegiatan penelitian dan pelayaan terhadaap masyarakat, Setiap laboratorium dilengkapi dengan sarana  dan prasarana yang memadai sesuai dengan kebutuhan masing-masing laboratorium dan terdiri dari:  Laboratorium, Rumah kaca (Green House), Perpustakaan, Gedung serbaguna, Asrama, Koprasi, Kantin, Musholla, Sarana Olahraga, jaringan internet/Waifi. Laboratorium dibedakan menjadi dua yaitu:
A. Laboratorium Benih terdiri dari:
1. Laboratorium Kemurnian Benih
2. Laboratorium DNA
3. Laboratorium Basah
4. Laboratorium Kering
5. Laboratorium Terpadu
B. Laboratorium Proteksi Tanaman yang terdiri dari:
1. Laboratorium Pestisida Nabati
2. Laboratorium Mikologi
3. Laboratorium Virus dan Bakteriologi
4. Laboratorium Mikoriza
5. Laboratorium Trichogramma
6. Laboratorium Nematoda 
7. Laboratorium Terpadu
















BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1Pengertian Nematoda Entomopatogen (NEP)
          Nematoda entomopatogen (NEP) adalah nematoda yang termasuk dalam family Rhabditidaeyang memiliki dua genus, yaitu Seteinenerma dan Heterorhabditis, dimana keduanya telah terbukti sebagai organisme pengendalian hayati serangga hama dan telah banyak digunakan sebagai alternative pengendalian yang ramah lingkungan. NEPmempunyai siklus hidup yang berlangsung dari telur, empat setadia juvenile dan dewasa dan pada juvenile ketiga merupakan nematoda yang bermanfaat sebagai “Infektive Juvenile” atau setadia “dauer” (Miles, et al. 2004), Juvenile (JL) mampu bertahan hidup didalam tanah; berfungsi untuk tinggal, menyerang dan menginfeksi inang serangga (Poinar, 1990 dalam Miles, et.al. 2004). NEP ini merupakan salah satu agens biokontrol yang paling penting pada serangga hama Boszormeny et al.2009. NEP pertamakali ditemukan oleh Gotthod Steiner di Jerman pada tahun 1923 yang diberi nama Steinernema Kraussei. Kemudian pada tahun 1929 Rudolf William Glaser menemukan Steirinerma yang menginfeksi kumbang Jepang Papilia Japonica di New Jersey, sehingga diberi nama Steinernema Glaseri.

Gambar  2.1 Nematoda Entomopatogen

3.2Klasifikasi Nematoda Entomopatogen (NEP)
Nematoda entompatogen termasuk dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae Poinar dan Grewal 2012. Nematoda sampai saat ini telah
diidentifikasi 43 spesies dari dua famili dan tiga genus. Tiga puluh tiga spesies dari genus Steinernema, satu spesies dari genus Neosteinernema, sembilan dari
genus Heterorhabditis Koppenhofer dan Fuzy 2003. NEP ini merupakan salah satua gens biokontrol yang paling penting pada serangga hama Boszormeny et al. 2009. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa Steinernematidae dan Heterorhabditidae merupakan dua suku yang mampu menginfekai dan membunuh serangga  inang dengan cepat.
Menurut Poinar 1990. klasifikasi Steinernema sp. dan Klasifikasi Heterorhabditis sp. Adalah sebagai berikut:
a. klasifikasi Steinernema sp. adalah
Kingdom : Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili: Steinernematidae
Genus: Steinernema
Spesies: Steinernemaspp.
b. Klasifikasi Heterorhabditis sp. Adalah
Kingdom: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Secernentea
Ordo: Rhabditida
Famili: Heterorhabditidae
Genus: Heterorhabditis
Spesies: Heterorhabditis spp.


3.3 Morfologi Nematoda Entomopatogen (NEP)
Tubuh nematoda pada umumnya berbentuk cacing, transparan, panjang dan agak silindris dan di selubungi oleh kutikula yang elastis. NEP merupakan mikroorganisme berbentuk cacing berukuran 700-1200 mikron dan berada di dalam tanah Nugrohorini 2010. Ukuran nematoda sangat kecil sehingga tidak dapat di lihat dengan mata telanjang, hanya dapat di lihat dengan mikroskop. Nematoda memiliki sistem syaraf, sistem pencernaan dan sistem reproduksi.
Sistem pencernaan terdiri dari stoma, esophagus yang terdiri atas corpus pro dan metacorpus, isthmus dan basal bulbs Rahim 2010. NEP ini mempunyai
kulit tubuh yang halus, bentuk kepala tumpul, enam bibir masing-masing memiliki paila dan stomata yang dangkal (Mulyaningsih 2010) 
3.4    Biologi Nematoda Entomopatogen(NEP)
Nematoda entomopatogen (NEP) merupakan patogen serangga yang dapat menyebabkan infeksi dan  menimbulkan penyakit pada serangga hama. Penetrasi NEP dilakukan langsung melalui kutikula serangga dan lubang-lubang alami seperti spirakel, mulut, dan anus Subagiya 2005. NEP membunuh serangga melalui bantuan dari simbiosis mutualisme dengan bakteri yang dibawa dalam saluran pencernaannya Boemare 2002. Xenorhabdus sp dan Photor habdus sp adalah bakteri gram negatif famili Enterobacteriaceae yang hidup bersimbiosis dengan nematoda Heterorhabditis dan Steinernema. Kedua bakteri tersebut mampu membunuh serangga hama dengan waktu yang sangat cepat sekitar 24-48 jam karena mengeluarkan racuntoksin. Pada umumnya gejala serangga hama yang terserang oleh nematoda adalah adanya perubahan warna, tubuh menjadilembek, dan bila dibedah jaringan menjadi cair tetapi tidak berbau Sucipto 2008.
        NEP mempunyai siklus hidup sederhana dan mempunyai stadia utama perkembangan dari telur, juvenil dan dewasa. Juvenil terbagi menjadi juvenilinstar 1 J1, juvenilinstar 2 J2, juvenil instar 3 J3 dan juvenilinstar 4 J4. Siklus hidup nematoda mulai dari menginfeksi sampai muncu l JI generasi Baru berkisar 7-10 hari Wagiman et al. 2003. JI meninggalkan bangkai inang 2-3 minggu setelah berkembang didalam tubuh inang dan mencari inang yang baru Ehlers et al. 2000. Pergantiain star ditandai dengan terjadinya pergantian kulit molting Prabowo 2012. Reproduksi NEP terus berlangsung sampai sumber nutrisi dalam tubuh inang habis. Juvenil infektif meninggalkan inang untuk mencari inang yang baru. Juvenil infektif dapat bertahan tanpa makanan selama beberapa bulan sampai mendapatkan inang yang baru Adam and Nguen 2002.
3.5   Patogenesis Nematoda Entomopatogen (NEP)
Patogenesis nematoda entomopat (NEP) terhadap hama melalui tiga tahapan yaitu: invasi, evasi dan toksikogenitas.
1. Invasi adalah tahapan NEP menyerang hama dengan cara masuk kedalam tubuh larva serangga inang melalui lubang alami seperti spirakel, mulut dan anus serta penetrasi langsung menembus kutikula.
2. Evasi adalah proses NEP melepaskan bakteri simbion kedalam larva serangga tubuh inang.
3. Toksikogenitas yaitu proses bakteri simbion yang dikeluarkan Steinernema spp. menyebabkan kelumpuhan syarap tubuh otot–otot serangga inang yang menyebabkan kematian pada inang(Chaerani dan Nurbaeti, 2007). Biasanya ditunjukkan dengan warna yang khas yang semula warna kehijau hijauan akan berubah menjadi coklat kekuning kuningan semakin lama tubuh larva menjadi coklat kehitaman, tubuh larva menjadi lembek dan sedikit mengeluarkan cairan  tetapi tidak berbau busuk.
Proses infeksi nematoda terhadap inang disebabkan adanya interaksi metabolistik antara nematoda patogen dengan bakteri. Bakteri ini terdapat dalam
saluran pencernaan juvenile infektif JI Salame Glazer 2000. NEP menginfeksi inangnya dengan cara memasuki lubang-lubang alami seperti
spirakel, mulut dan anus serta penetrasi langsung menembus kutikula. Infeksi NEP sebagian besar melalui serangga inangnya yakni melalui saluran pencernaan selanjutnya menuju hemocoel. Bakteri kemudian dilepaskan melalui anus yang menyebabkan keracunan dan kematian inang Subagiya 2005.
        Nematoda memakan sel bakteri dan jaringan inangnya. Tanpa bakteri simbion dalam serangga inang, nematoda tidak akan dapat bereproduksi karena bakteri simbion berfungsi sebagai makanan yang sangat diperlukan oleh NEPbakteri simbion memberikan protein anti imun untuk membantu NEPmengatasi sistem pertahanan inang serta anti mikrobasing yang menjadi pesaingnya. Sedikit nutrisi Nutrisi berlimpah G2 menghasilkan telur Penetrasi J3 ke Jeo G1 menghasilkan telur Ventral Posterior Bakteri dapat mensuplai nutrisi yang dibutuhkan bagi nematoda untuk berkembang dengan cepat hinggadewasa, kemudian nematoda memasuki masa reproduksi dan menghasilkan telur. Semuanutrisi yang ada dalam tubuh inang akan menjadi sumber makanannya Grewal Ruisheng 2007. Nematoda akan berkembang menjadi generasi kedua dan ketiga yang akan keluar lagi  dari bangkai inang dan  mencari inang yang baru.
3.6 Klasifikasi Rayap Tanah
Rayap tanah (Isoptera : Termitidae) merupakan serangga sosial dan hidup susbur diberbagai belahan dunia terutama di daerah tropika dan sub tropika. Rayap sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai perombak bahan- bahan sisa sepetri potongan kayu dan sisa kertas tetapi juga sering menimbulkan serangan pada tanaman pertanian dan perkebunan dan kehutan (Taruminkeng, 1992).
klasifikasi sebagai berikut
Kingdom: Animalia
Filum   : Arthropoda
Classis    : Insecta
Ordo   : Isoptera
Familia   : Rhinotermitidae
Genus   : Coptotermes
Spesies    : Coptotermes curvignathus





BAB IV
METODOLOGI

4.1Waktu dan Tempat
Kegiatan PKL ini dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober  s/d 4 Desember 2017, di Laboratorium Proteksi Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya yang berlokasi di Jln.Mojoagung No. 52 Kab. Jombang Jawatimur.
4.2Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan ini dilakukan dengan mengikuti seluruh kegiatan yang ada di Laboratorium BBPPTP Surabaya. Kegiatan metode PKL ini dilakukan mulai dari orientasi, dan laboratorium, diskusi partisipasi aktif dan pengumpulan data. Melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan NEP, maupun secara perbanyakan dan pengembangannya untuk memperluas wawasan, pengetahuan juga keterampilan serta mengetahui secara nyata teknologi dibidang pertanian.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Kegiatan PKL dilakukan dengan mengikuti seluruh kegiatan dan disesuaikan dengan kedisiplinan dan keilmuan mahasiswa sesuai dengan prosedur kerja di (BBPPTP) Surabaya. Adapun kegiatan PKL yang dilaksanakan yaitu:
1. Orientasi 
Orientasi dilakukan untuk mengenal ruang lingkup BBPPTP Surabaya dan memudahkan beradaptasi selama kegiatan PKL
2. Diskusi dan wawancara
Diskusi dan wawancara dilakukan dengan dosen pembimbing lapangan untuk mengetahui informasi yang lebih lengkap mengenai pengembangan NEP maupun identifikasi
3. Partisipasi aktif
Kegiatan ini dilakukan dengan cara observasi NEP di laboratorium proteksi BBPPTP dengan cara berpartisipasi mengamati, mengikuti secara langsung praktek kerja lapang sesuai dengan prosedur dan aktifitas yang sedang berlangsung di laboratorium.
4. Pengumpulan Data 
Pengumpulan data diperoleh dari pengamatan uji patogenesis NEP, dilakukan dengan pengumpulan data primer, data sekunder. 
a. Data primer diperoleh langsung dari responden, wawancara dengan pimpinan instansi, pembimbing lapangan dan karyawan instansi serta partisipasi aktif.
b. Data sekunder diperoleh dari buku, arsip, dan studi pustaka yang berkaitan dengan profil.
















BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Teknik Pengembangan Nematoda Entomopatogen (NEP)
5.1.1 Eksplorasi dan Baitting
Eksplorasi merupakan langkah awal dari suatu kegiatan pengembangan dan upaya untuk mendapatkan isolat lokal NEP dari pengambilan sampel tanah. Sampel tanah yang diambil dimasukkan kedalam plastik untuk menjaga kelembaban tanah kedalaman ± 10-20cm. Menurut Poinar (1979) NEP bergerak aktif pada suhu 21-30°C dan mobilitasnya akan menurun pada suhu 12-16°C. Sucipto (2008) menambahkan bahwa NEP berkembangbiak secara maksimal pada suhu 23°C kondisi PH tanah 8 dan kelembapan cukup tinggi. Ekplorasi dilakukan dengan menggunakan metode baiting menggunakan umpan ulat Tenebrio molitor. Dari hasil ekpsplorasi tidak ada yang mengandung NEP
Baitting merupakan kegiatan yang dilakukan dengan cara memancing nematoda yang ada didalam tanah  dengan menggunakan larva yang masih hidup dengan tanah yang didapat saat eksplorasi. Tenebrio molitor digunakan sebagai media baiting karena berfungsi sebagai tempat berkembang nya NEP.
Teknik baiting dilakukan dengan mengayak sampel tanah untuk memisakan dari kotoran seperti akar-akar tanaman, kemudian melembabkan nya dengan menggunakan air agar NEP dapat dengan mudah menenukan inang nya. Teknik peletakan umpan yaitu dengan cara memasukkan tanah kedalam toples 1/3 dari tinggi toples kemudian di ikuti dengan Tenebrio molitor yang telah dimasukkan kedalam pembungkus kain kasa yang dibuat menyerupai tabung dan masing-masing di isi dengan larva 5-6 ekor kemudian dibenam kan kedalam tanah lalu di tutup. Pengamatan dilakukan setelah 3 hari dari proses baiting utnuk mengetahui Tenebrio molitor diduga terinfeksi NEP selanjutnya dilakukan pengaman setiap hari.
  
Gambar 4.1 Teknik Baiting NEP
5.1.2 White trap
Larva yang telah mati dari hasil baiting selanjut nya dilakukan dalam proses white trap agar NEP yang ada pada larva Tenebrio moloitor dengan dugaan terinfeksi oleh NEP dapat keluar dan berkembang biak. Larva Tenebrio molitor yang telah mati kemudian diletakkan pada cawan petri kecil yang telah dilapisi kertas saring yang telah dilembabkan oleh air steril untuk menjaga kelembapan. Selanjutnya cawan petri kecil dimasukkan kedalam cawan perti berdiameter lebih besar yang berisi ¾ aquades, cawan perti kemudian di tutup dan dilapisi dngan plastik wraping. Langkah tersebut agar NEP yang berkembang biak dapat keluar ketempat yang lebih lembab yang berada pada cawan petri besar dan berisi air. disebabkan kecendrungan NEP terhadap tempat yang lebih lembab (Sucipto 2008). 
Gambar 4.2 Teknik white trap
5.1.3 Identifikasi Nematoda entomopatogen (NEP)
Uji gejala pada serangga inang berfungsi untuk mengatahui gejala oleh NEP pada bagian kutikula yang ditunjukkan dengan adanya perubahan warna. Uji dilakukan dengan menginokulasi NEP fase juvenil lifektif pada larva tersebut ditempatkan pada temperatur ruang selama 24-48 jam. (Nugroho rini, 2010).
Identifikasi NEP dilakukan dengan cara mengamati gejala yang ditimbulkan pada larva Tenebrio molitor yang terinfeksi. Jika gejala berwarna coklat karamel menandakan larva terinfeksi Steinernema sp, dan jika berwarna kemerahan menandakan larva terinfeksi Heterorhabditis sp.
5.2 Perbanyakan Nematoda Entomopatogen (NEP)
5.2.1 Perbanyakan Secara In Vivo
Perbanyakan secara in vivo merupakan  kegiatan perbanyakan nematoda entomopatogen dengan menggunakan serangga sebagai umpan atau media perbanyakan, serangga yang digunakan yaitu Tenebrio molitor. Nguyen and Smart (1995) mengatakan serangga yang berasal dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, dan Diptera dapat dijadikan sebagai perbanyakan untuk media NEP. Fungsi serangga digunakan untuk perbanyakan NEP yaitu sebagai penyedia nutrisi untuk perkembangbiakan nematoda entomopatogen.
Serangga yang digunakan dimasukkan kedalam cawan perti yang dilapisi kertas saring, ditetesi suspensi nematoda hingga lembab, suspensi dapat ditambah kan aquades apabila suspensi NEP belum menyebabkan media menjadi lembab. Kertas saring harus terjaga kelembapan nya, apabila kertas saring terlalu kering menyebakan NEP tidak dapt berkembang secara optimal dan apabila kertas saring terlalu lembap menyebabkan NEP tidak mau turun dari cawan perti kecil (tidak berpindah) ke petri yang lebih besar sehingga proses pemanenan menjadi sulit.
Larva yang sudah ditetesi suspensi NEP biasanya mati dalam waktu 24-72 jam di tandai dengan perubahan warna pada larva yang telah mati. Kemudian di white trap dengan cara memasukkan cawan petri kecil kedalam petri yang berukuran  lebih besar dan memberi ¾ air seteril pada cawan petri besar di tutup dan lapis menggunakan plastik wraping selanjutnya di inkubasi, sehingga NEP dapat berkembang dengan baik. Hasil panen NEP disimpan dalam lemari pendigin dalam keadaan tetap bergerak dan dapat di gunakan sebagai isolat untuk perbanyakan dan dapat digunakan kembali perbanyakan secara in vivo. NEP mampu bertahan dalam keadaan tersedia oksigen
 
Gambar  4.3 Proses Perbanayakan Secara In Vivo
5.2.2 Isolasi Bakteri Simbion
Bakteri simbion merupakan salah satu penentu keberhasilan dan keefektifan dalamaplikasi NEP dilapangan. Keberadaan bakteri simbion mampu meningkatkan daya patogenesitas NEP dalam mengendalikan inangnya dan juga dapat memperluas jangkauan inangnya. Bakteri simbion NEP berada didalam tubuh inangnya dan secara alami akan berada pada tubuh NEP. 
Isolasi bakteri simbion hanya didapatkan fase sekunder yang ditandai dengan munculnya warna kemerah merahan dan tidak didapatkan fase primer karena membutuhkan waktu ulangan yang cukup untuk mendapatkan fase primer.
Gambar 4.4 Bakteri Photorhabdus. pada media NA-NR dan Bakteri Xenorhabdus  pada media NBTA
5.2.3 Perbanyakan Bakteri Simbion
Menyiapkan media Yeast Salt (YS) sesuai dengan kebutuhan, media yang telah siap sterilisasi di autoclave pada suhu 121ºC pada tekanan 15 psi selama 30 mnit. Hasil dari stelirisasi berupa media yang siap selanjutnya di inokulasi bakteri simbion pada media 1 liter di inokulasikan 1 effendourf tubeSelanjutnya media di shaker dengan kecepatan 250 rpm selama 24 jam. Setelah proses shaker selesai siap digunakan untuk perbanyakan NEP secara In Ivitro. 
Gambar 4.5 perbanyakan bakteri simbion

5.2.4 Perbanyakan Nep Secara In Vitro
Perbanyakan secara in vitro dilakukan untuk mendapatkan NEP dalam jumlah yang banyak. Perbanyakan NEP secara in vitro dilakukan dengan menggunakan media buatan atau media bedding yang didalamnya mengandung nutrisi yang cukup untuk tumbuh berkembangnya nematoda entomopatogen secara optimal. Nutrisi yang digunakan berasal dari protein, lemak hewani, dan Nabati Wouts et al. (1981) dalam Chairani (2011). Perbanyakan NEP secara in vitro dengan menggunakan bahan tepung kedelai dan nutrisi sebagai sumber makanan. Perbanyakan dilakukan dengan menggunakan erlenmeyer 1000 ml sebagai tempat perbanyakan. Media yang digunakan untuk perbanyakan sebelum digunakan di steril terlebih dahulu sehingga mengurangi terjadinya kontaminasi. Tahapan-tahapan NEP secara in vitroyaitu, isolasi bakteri simbion, perbanyakan bakteri simbion, pembuatan media bedding (spons), inokulasi bakteri simbion pada media bedding, dan inokulasi NEP pada media bedding. 
5.2.5.  Membuat Media Bedding (Spons)
 Media bedding  ( Spons) merupakan media untuk perbanyakan nematoda entomopatogen secara in vitro. Pembuatan media bedding dilakukan dengan mempersiapkan bahan-bahan dan menimbang sesuai dengan kebutuhan yang akan digunakan dan di masukkan kedalam beker glass dan di panaskan hingga mendidih  dan di aduk hingga homogen. Bahan yang sudah mendidih dimasukkan kedalam toples yang berisi spons aduk hingga tercampur rata dan masukkan media kedalam erlenmeyer 1000 ml hinggabatas leher erlenmeyer, kemudian ditutup dengan kapas dan di lapisi dengan alumunium foil. Kemudian diseterilkan di autoclave selama 30 menit pada suhu 121°C dan tekanan 15 psi.

Gambar 4.6 prores pembuatan media bedding (spons)
5.2.6 Inokulasi Bakteri Simbion Pada Media Bedding
Media bedding yang sudah steril d an dingin di inokulasi dengan bakteri simbion yang sudah diperbanyak pada media yeast salt (YS). Setiap erlenmeyer diinokulsi dengan bakteri simbion sebanyak 10 ml. Inokulasi dilakukan dengan keadaan steril dan dilakukang dengan cara menyemprotkan alkohol pada tangan, meja dan menyalakan lampu bunsen. Selanjutnya dekatkan bibir erlenmeyer pada lampu bunsin dan masukkan bakteri simbion kemudian tutup menggunakan kapas dan lapisi dengan alumunium foil. Media yang sudah di inokulasi kemudian di inkubasi selama 24 jam agar bakteri berkembang 
5.2.7 Inokulasi Nematoda Entomopatogen pada Media Bedding (Spons)
Media bedding yang telah siap (di inokulasi bakteri simbion selama 24 jam). Kemudian inokulasikan NEP hasil panen dari perbanyakan secara in vivo kemedia bedding sebanyak 20 ml setiap erlenmeyer. Sebelum dilakukan inokulasi keadaan harus steril terlebih dahulu dengan menyemprot kan alkohol pada meja, tangan, dan menyalakan lampu bunsen. Selanjutnya dekatkan bibir erlenmeyer pada lampu bunsin dan masukkan bakteri simbion kemudian tutup menggunakan kapas dan lapisi dengan alumunium foil dan inkubasi media yang telah di inokulasi NEP selama 14-21 sampai panen. 
5.2.8 Hasil Perbanyakan dan Pemanenan (NEP)
Perbanyakan NEP di media spons dengan menggunakan media bedding. Menunjukkan bahwa NEP dapat berkembang biak dengan baik, saat perbanyakan NEP didalam erlenmeyer setelah 7 hari menunjukan adanya jaring-jaring yang muncul pada dinding tabung erlenmeyer yang membentuk sebuah koloni.
        Pemanenan NEP hasil dari perbanyakan secara in vitro dilakukan dengan cara mengambil spons dan memasukkan kedalam toples berukuran besar yang telah terisi aquades, selanjutnya memeras spons secara perlahan hingga smua nutrisi dan diperkirakan NEP yang ada didalam spons telah keluar. Mengambil endapan sebanyak 40 ml kemudian mengemas kedalam spons berukuran 10x15 cm kemudian simpan didalam lemari pendingin dengan suhu 4-15ºhinggadibutuhkan dan siap untuk di edarkan. 
  
Gambar 4.7 Hasil Perbanyakan dan Pemanenan NEP
5.2.9. Pemurnian NEP
Pemurnian merupaka metode yang berfungsi untuk mengembalikan NEP pada inangnya, supaya daya patogenesitasnya tetap tinggi. 
Gambar 4.8 Metode pemurnian NEP

5.3Uji Efektifitas NEP  Spesies  Steinernemasp. Terhadap Mortalitas Rayap Tanah
Bahan dan alat yang digunakan dalam aplikasi antaralain rayap tanah, isolat NEP, cawan petri, kertas saring, pinset, nampan.
Pengujian yang dilakukan dengan cara menginokulasikan isolat NEP pada cawan petri kecil yang telah di isi dengan rayap sebanyak 20 biji. Cawan perti yang sudah dilapisi kertas saring. Rayap yang digunakan pengujian diberi isolat NEP spesies (Steinernema sp). Konsentrasi NEP yang digunakan adalah 0 IJ, 100 IJ, 200 IJ, 300 IJ, dan 400 IJ. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui mortalitas rayap. Dari hasil pengamatan tampak bahwa sebelum terjadi kematian rayap  yang terserang NEP mengalami perubahan prilaku menjadi hiper aktif, di bandingkan dengan pada rayap dengan perlakuan control. Waktu pengamatan dilakukan setiap 24 jam selama 10 hari.
Presentase moralitas rayap tanah, pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah rayap yang mati kemudian dihitung persentase mortalitas rayap yang mati. Penghitungan dilakuka n dengan pengamatan setiaphari sampai rayap mati 100%. Rumus penghitungan persentase mortalitas sebagai berikut. 
                                      Mortalitas = 
Dari hasil pengamatan gejala serangga yang terinfeksi oleh NEP ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi merah kecoklat - coklatan hal ini disebabkan oleh serangan Steinernema sp.
Mortalitas yang disebabkan oleh NEP disebabkan oleh bakteri simbion yang berada pada tubuh NEP. Penelitian ini menggunakan nematoda berjenis Steinernema sp dengan bakteri simbion Xenorhabdussp. Dimana bakteri simbion ini memproduksi exstraseluler protease yang berperan penting dalam menimbulkan kematian pada serangga (Kaya dan Koppenhofer, 1996) dan disamping memproduksi exstraseluler protease bakteri juga mampu mengeluarkan senyawa yang bersifat toksin yang dapat membunuh inang (Sulisyanto, 1998).
Tabel: 1 Rata-rata persentase mortalitas Rayap tanah dengan menggunakan
4 perlakuan dan 4 ulangan
PERLAKUAN
PERSENTASE MORTALITAS

H1
H2
H3
H4
H5
H6
H7
H8
H9
H10
IJ 0










IJ 100
6,25%
6,25%
36,25%
51,25%
58,75%
76,25%
88,75%
97,5%
100%
100%
IJ 200
12,5%
15%
20%
32,5%
33,75%
45%
67,5%
86,25%
93,75%
100%
IJ 300
17,5%
26,75%
35%
52,5%
75%
81,25%
83,75%
97,5%
100%
100%
IJ 400
4,5%
48,5%
75%
91,25%
96,25%
98,75%
98,75%
100%
100%
100%
Keterangan: H yaitu hari IJ yaitu injek juvenil
hasil persentasi mortalitas rayap pada IJ 400  hari ke 6 menunjukkan Persentase mortalitas Rayap sangat efektif mencapai 98,75%
 

























































































































Gambar: diagram rata-rata persentase hasil pengujian NEP pada raya
Hasil pengujian NEP pada Rayap terlihat pada hari pertama menunjukkan mortalitas di semua perlakuan. Pengamatan hari ke-2 perlakuan IJ 300/ml sudah menunjukkan mortalitas dengan persentase sebesar 26,75%. Penambahan mortalitas yang cukup tinggi mulai terlihat pada hari ke-4 dengan nilai persentase 52,5%. Dengan nilai persentase tertinggi sebesar 91,25% di tunjukkan pada perlakuan IJ 400/ml. Pada pengamatan hari ke-6 berdasarkan hasil pengujian patogenesis NEP terhadap rayap tanah didapatkan dosis yang baik untuk mengendalikan hama dengan kerapatan IJ 400/ ml sudah mampu menunjukkan persentase mortalitas sebesar 98,75% dalam waktu 6 hari (6x24). Apabila konsentrasi melebihi batas tertentu diduga akan terjadi kompetisi inter spesies NEP. Dugaan mengenai pengaruh penggunaan konsentrasi yang melebihi batas optimal telah dilaporkan oleh Kaya dan Koppenhofer, 1996. Bahwa konsentrasi NEP yang digunakan harus sesuai dengan batas konsentrasi optimalnya. Apabila melebihi batas optimal maka akan terjadi kompetisi dalam ruang dan makan antar NEP itu sendiri. Kompetisi ini menyebabkan NEP menjadi kurang efektif apabila di aplikasikan dilapang. 

Analisis data
Sumber keragaman
db
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hit
F0,5
Ulangan
4
5,32
1,33
1,23
2,59
Total
45
48,73
1,08


Koef- Keragaman = 49.26%
BNT[α=0,05] = 29.66
Rata- Rata Perlakuan:
1. 73.00
2. 62,12
3. 58,62
4. 66,94
5. 81,32
Analisis variansi: Fhitung (1,23) lebih kecil dari Ftabel 5% (2,59), maka perlakuan pemberian Injek juvenil nematoda entomopatogen  terhadap rayap tanah berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap rayap tanah yang di amati selama 10 hari
Sampel yang memperoleh perlakuan Injek juvenil nematoda entomopatogen 400 IJ memiliki nilai yang secara nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan sampel yang diberi injek juvenil 100 IJ dan 200 IJ, namun tidak berbeda (>0,05) dibandingkan dengan sampel yang diberi injek juvenil nematoda 300 IJ.






BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan Kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) mengenai perbanyakan dan pengujian Nematoda Entomopatogen yang dilakukan di Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya. Dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nematoda Entomopatogen (NEP) Sebagai agens pengendali hayati merupakan fammili steinernematidae dan heterohabditidae.
2. NEP dapat diperbanyak melaui perbanyakan secara in vivo (menggunakan serangga sebagai inang) dan secara in vitro (mengggunakan media bedding)
3. NEP dapt dijadikan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah di lapang
6.2   Saran
Pada proses perbanyakan NEP selalu diupayakan untuk tetap keadaan steril dan terjaga dari kontaminasi terlebih gagguan dari serangga Sinyo yang dapat menekan produksi NEP. 
DAFTAR PUSTAKA

Borror et al., 1982 Patogenesis Nematoda Tanaman. Universitas Paddjajaran. Bandung.
Boszormeny E, Rsek TE, Fodor A, Fodor AM, Szldes FL, Hevesi M, Hongan JS, Katona Z, Klein MG, Kormani A, Pekar S, Szentirmai A, Staricskai F & Taylor RAJ. 2009. Isolation and activity of xenorhabdus antimicrobial compouns against the plant pathogens Erwinia amylovora and Phytophthora nicotianae. J. Appl Microbiol107:746-759
Koppenhofer AM & Fuzy EM. 2003. Ecological characterization of Steinernema scarabaei, a scarab-adapted entomopathogenic nematode from New Jersey. J. Invertebr Patho 183: 139-148.
Mulyaningsih L. 2010. Aplikasi agensia hayati atau insektisida dalam pengendalian hama Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell Untuk meningkatkan produksi kubis (Barassica oleracea L.). Media Soerjo 7(2).
Nugrohorini. 2010. Eksplorasi nematoda entomopatogen  pada  beberapa wilayah di Jawatimur. J.Pertanian MAPETA XII (2): 72-144.
Poinar G. 1979. Nematodes for Biological Central of Insect. Florida: Boca Raton
Poinar, G.O. 1990 Taxonomi and biology of Steinernematidae and Heterorhabditidae. Entomopathogenic Nematodes in biological Control of Insect. CRC Press. Boca Raton. Florida. P.23-60.
Rahim. 2010. Pengaruh Jumlah Ulat Tenebrio mollitor sebagai Media Perbanyakan  Terhadap Kerapatan Infektif Juvenil (ij) Agens hayati Nematoda Entomopatogen. Media Sains 2(1).
Sucipto. 2008. Peristensi nematoda entomopatogen Heterohabditis (All strain) Isolat Lokal Madura Terhadap Pengendalian Rayap tanah  Macrotermes sp. (Isoptera:Termitidae) di Lapang. Embryo 5(2)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Komposisi dan Teknik Membuat Media Kultur
1. Membuat yeast salt (ys)
1.1 Alat                                        1.2   Bahan
a. Gelas ukura. NH4H2PO4
b. Saringanb. K2HPO4
c. Spatula              c. MgSO47H2O
d. Timbangan analitikd. NaCl
e. Autoklafe. Yeast exstract
f. Rotary shaker f. Kapas
                                                       g. Alumuniaum foil               h. Aquadest             i. Kertas Label

1.3 Prosedur Kerja
1. Menimbang NH4H2POsebanyak 0,5g; MgSO47H2O 0,2g; NaCl 5g; dan     Aquades 5 lt.
2. Meencampur semua bahan yang sudah ditimbang kedalam gelas ukur
3. Semua bahan di sampur jadi satu dan diaduk dengan menggunakan spatula sampai homogen.
4. memindahkan Larutan yang telah homogen, kedalam dalam tabung erlenmeyer, menutupnyadengan kapas dan alumunium foil.
5. Melakukan proses sterilisasi pada Erlenmeyer diautoclave untuk proses sterilisasi selama 30 menit dengan suhu 121ºC dan tekanan 15 psi
2. Media Bedding
1.1 Bahan                                         1.2. Alat
a. Nutrien brotha. Gelas ukur
b. Yeast exstractb.Saringan
c. Tepung kedelaic. Spatula
d. Minyak nabatid.Erlenmeyer
e. Spon ukuran 2x2x2e. Nampan
f. Aquadesf. Timbangan analitik
g. Kapasg.Rotary shaker
h. Alumunium foilh.Autoclave
i. Kertas     i. Kompor listrik
j. Kertas label
1.2 Cara kerja
1. Menimbang Nutrien broth 7,04g; Yeast exstract 2,56g; Tepung kedelai 115g,2g Minyak nabati 93g; dan aquades 432 mili
2. Masukkan semua bahan yanga sudah ditimbang kedalam gelas ukur sebesar 1 lt
3. Pleting larutan menggunakan kompor listrik aduk hingga homogen agar tidak mengendap
4. Sambil menunggu larutan mendidih siapkan spons 36g.
5. Masukkan larutan yang telah mendidih kedalam wadah yang telah berisi sepon.
6. Mengaduk larutan dan spons hingga rata kemudian masukkan spon kedalam erlenmeyer, lalu tutup menggunakan kapas dan alumunium foil.
7. Melakukan proses sterilisasi Erlenmeyer yang telah terisi oleh spon pada autoclave selama 30 mnit dengan suhu 121ºC  dan tekanan 15 psi












Lampiran 4 Dokumentasi Kegiatan 

A

Gambar  2.1 Nematoda Entomopatogen



A. Memasukkan sampel tanah
B. Memasukkan ulat

Gambar 4.1 Teknik Baiting NEP


A. Memasukkan ulat kedalam petri kecil
B. Memasukkan petri kecil kedalam petri besar yang berisi air steril
Gambar 4.2 Teknik white trap



A. Langkah sterilisasi permukaan dan ditiriskan
B. Memasukkan ulat kedalam petri kecil yang dilapisi kertas saring
C. Isolat NEP
Gambar  4.3 Proses Perbanayakan Secara In Vivo


A. Pleting
B. Media yang telah di olesi hemolimfa

Gambar 4.4 Bakteri Photorhabdus. pada media NA-NR dan Bakteri Xenorhabdus  pada media NBTA



A. Media telah di sterilisasi
B. Media di sheker
Gambar 4.5 perbanyakan bakteri simbion


 
A. plating
B. Memasukkan spon kedalam erlenmeyer
Gambar 4.6 Proses pembuat media Bedding (spons)

A. Hasil perbanyakan
B. Pemanenan
Gambar 4.7 Hasil Perbanyakan dan Pemanenan NEP


A. Pemurnian menggunakan ulat (SL)
B. Ulat yang telah terinfeksi
Gambar 4.8 Metode pemurnian NEP


1

Komentar

  1. Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
    mampir di website ternama I O N Q Q
    paling diminati di Indonesia,
    di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
    ~bandar poker
    ~bandar-Q
    ~domino99
    ~poker
    ~bandar66
    ~sakong
    ~aduQ
    ~capsa susun
    ~perang baccarat (new game)
    segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
    Whatshapp : +85515373217

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proposal Praktek Kerja Lapangan Agroekoteknologi

MAKALAH PENYIMPANAN BENIH

Perkembangan zaman dan moral seorang pelajar